HILANGNYA PENGHARGAAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DALAM KASUS SALAH TANGKAP DAN PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM ANGGOTA KEPOLISIAN

CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v80), default quality

Secara normatif Negara Republik Indonesia telah menjamin Hak Asasi Manusia untuk warga negaranya, hal ini tertuang pada Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mendefinisikan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Menurut Mahfud MD Hak Asasi Manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri atau kodrati, bukan merupakan pemberian manusia atau negara. Aspek lain dalam Hak Asasi Manusia adalah terkait masalah pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh individu atau perorangan maupun institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi orang lain tanpa dasar yang jelas atau alasan yuridis dan rasional yang menjadi acuan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara maupun bukan aparatur negara. Aparatur negara ialah mereka, baik perorangan maupun institusi yang berada dalam kapasitas atau sebagai perwakilan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Pelanggaran HAM yang terjadi karena dalam melaksanakan kewajiban mereka sebagai perwakilan negara tidak menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia warga negaranya, contohnya seperti polisi kerap melakukan penyiksaan dalam melakukan interogasi terhadap tersangka atau militer melakukan penyerangan terhadap warga sipil dalam situasi darurat. Sedangkan bukan aparatur negara ialah orang atau kelompok di luar aktor negara yang dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM dalam berbagai tindakan tertentu, mereka biasanya memiliki kekuasaan, baik pengaruh maupun modal. Dan pelaku memiliki struktur dan jaringan yang terorganisir.

Pada kenyataan yang terlihat sekarang masih terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh state actor atau aparatur negara, seperti yang terjadi di masyarakat. Hal ini ditandai dengan salah satu kasus yang terjadi pada tahun 2020 silam, dilansir pos-kupang.com menjelaskan bahwa telah terjadi peristiwa salah tangkap dan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. Peristiwa ini bermula pada Frengky Dian Viktor Riwu berusia 43 tahun, warga Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur diduga menjadi korban salah tangkap personel Polres Kupang. Ayah dua anak ini nyaris tewas dianiaya sejumlah anggota polisi di ruangan Tim Buser Polres Kupang Kota, karena dituduh pelaku penjambretan handphone.

Berkaca pada peristiwa yang telah diuraikan diatas maka terlihat bahwa masih terdapat beberapa anggota kepolisian yang tidak berhati-hati dalam melaksanakan salah satu tugasnya yaitu melakukan penangkapan dan juga menyalahgunakan kewenangannya sebagai Aparat Penegak Hukum yang harusnya mengayomi seluruh masyarakat kendatipun masyarakat tersebut sedang diduga atau disangka melakukan perbuatan pidana. Dengan terjadi kasus salah tangkap dan penganiayaan ini maka oknum kepolisian tersebut telah melanggar Pasal 28A UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Lalu melanggar Pasal 28D ayat 1 UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Kemudian juga melanggar Pasal 28G ayat 1 UUD NRI 1945 yang menjelaskan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Selanjutnya pada ayat 2 menjelaskan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.” Serta melanggar pada Pasal 28I ayat 1 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Anggota kepolisian tersebut tidak hanya melanggar dari perspektif Hak Asasi Manusia akan tetapi salah tangkap ini pun melanggar Pasal 95 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan bahwa “tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.” Maka dari itu jika ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia, penulis berpendapat bahwa dalam melaksanakan tugasnya anggota kepolisian harus paham juga mengenai asas legalitas sebagai asas fundamental, asas ini diatur dan ditegaskan baik dalam Universal Declaration Of Human Rights Tahun 1948 maupun di dalam International Covenant On Civil and Political Rights, masing-masing pada Article 6 dan 16 yang menyebutkan “everyone has the right to recognition everywhere as a person  before the law.” Selanjutnya terkait asas legalitas dalam bentuk lain tersurat dan tersirat pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan larangan penderitaan ganda (prohibition of double jeopardy nebis in idem).

Disamping itu terkait persoalan etika aparat penegak hukum. Penulis menilai bahwa penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika, akan tetapi hal ini paling tidak didasarkan atas empat alasan yaitu: sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau kadang-kadang bahkan kekerasan (coercion) dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), hampir semua professional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani, bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan professionalnya (enlightened moral judgment), dan dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa “a set of ethical requirements are as part of its meaning.”

Selanjutnya mengenai budaya hukum dalam penegakan HAM, guna melakukan penegakan HAM terdapat unsur pendukung lain, yang sangat erat kaitannya dengan penegakan HAM di era globalisasi, yakni budaya hukum. Budaya atau kultur hukum merupakan salah satu unsur penting yang ada dalam rangka penegakan hukum selain struktur dan substansi hukum. Struktur hukum terkait dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan sebagai perwujudan sistem peradilan pidana yang integral. Substansi hukum merupakan produk hukum berupa aturan-aturan yang aktual, normal, dan perilaku dari orang-orang dalam suatu sistem. Sedangkan kultur hukum merupakan perilaku orang terhadap hukum dan sistem hukum, iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Oleh karena itu, budaya hukum perlu ditumbuhkan dalam masyarakat, karena tanpa budaya hukum akan mudah terjadi pelanggaran hukum di dalam masyarakat. Peranan penting yang terdapat dalam budaya hukum ialah sebagai penggerak bekerjanya hukum. Dalam kaitannya dengan penegakan HAM, budaya hukum merupakan sarana control terhadap aturan-aturan dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan HAM, ini penting artinya, agar aturan-aturan tentang perlindungan HAM yang ada dapat dijalankan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, terlebih lagi di era globalisasi.

Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa masih terdapat aparat penegak hukum khususnya kepolisian yang masih belum paham atau belum mampu menjalankan fungsi penegakan hukum secara humanis yang mengedepankan asas praduga tak bersalah dan juga masih terdapat oknum anggota kepolisian yang menyalahgunakan kewenangannya dengan bertindak sewenang-wenang terutama dalam hal melakukan penangkapan. Kemudian saran yang penulis dapat berikan terkait problematika ini adalah dengan memberikan banyak sosialisasi tentang bagaimana cara melakukan penegakan hukum dengan tidak melupakan aspek-aspek kemanusiaan di dalamnya, lalu sasaran utama dari sosialisasi ini tentu ditujukan kepada seluruh anggota kepolisian republik Indonesia, khususnya yang bertugas di lapangan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, kemudian penegakan hukum terhadap oknum anggota kepolisian ini pun satu hal yang tidak boleh sampai terlewatkan, salah satu upaya penegakan hukum terhadap oknum anggota kepolisian ini adalah menjaga integritas seluruh anggota Divisi Profesi Pengamanan Polri, dengan begitu kualitas penegakan hukum yang dilakukan kepolisian akan jauh lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia

Muladi, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama (Bandung, 2020)

Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2001)

A.Ubadillah dkk.,Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006)

https://kupang.tribunnews.com/2020/05/05/frengky-viktor-dian-riwu-sebut-dianiaya-diancam-oleh-oknum-polisi-polsek-kupang-kota?page=all#goog_rewarded

Penulis : Adityo Saputra, S.H., M.H.

Leave a comment