DIBALIK TIRAI TAWA HIBURAN TERDAPAT LUKA ANAK YANG MENUNTUT KEADILAN SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI

4-5-25

Lex semper dabit remedium” dengan arti bahwa “hukum bukanlah penghambat, tapi harus jadi solusi. Karena sejatinya hukum adalah alat.” Dengan terungkapnya kembali kasus pelanggaran HAM di dalam Oriental Circus Indonesia untuk selanjutnya disebut OCI yang merupakan kasus sejak tahun 1997 dengan tiga kali pengaduan yaitu pada tahun 1997, 2004 dan 2024. Sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk selanjutnya disebut Komnas HAM telah menyampaikan beberapa penyelesaian kepada pihak OCI , namun ternyata kasus  ini  belum mendapatkan penyelesaian yang memadai. Pelanggaran HAM yang terjadi diduga terdapat eksploitasi anak yang terjadi di OCI sehingga kembali menjadi fokus investigasi oleh Komnas HAM dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut Komnas Perempuan. Terdapat rekam jejak tiga kali adanya laporan pelanggaran yang dilakukan oleh OCI, disitulah hukum sebagai alat harus bekerja sebagaimana mestinya untuk mendapatkan keadilan bagi para korban dan megungkapkan fakta yang sebenarnya.

Pada kenyataannya praktik eksploitasi anak yang terjadi di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, yang dimana seharusnya anak mendapatkan hak-hak yang seharusnya di dapatkan namun hak-hak tersebut telah direbut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab atas perbuatannya sehingga menyebabkan anak–anak kehilangan masa depan mereka. Salah satunya dalam kasus yang dilakukan oleh pihak OCI telah melanggar beberapa aturan dalam hak asasi manusia dan perlindungan anak seperti dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” dan telah melanggar Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Eksploitasi anak diartikan dengan pemanfaatan anak untuk kepentingan sendiri, pengisapan, atau pemerasan tenaga orang lain yang merupakan tindakan yang tidak terpuji[1],dan terdapat bentuk-bentuk dari eksploitasi anak yaitu pertamaeksploitasi ekonomi; dimana anak dipekerjakan untuk mencari uang dalam kondisi yang terancam atau tidak aman, lalu yang kedua; eksploitasi seksual yaitu telah melakukan kegiatan seksual kepada anak yang kegiatan tersebut tidak dipahami oleh anak-anak sehingga mereka terpaksa untuk menerima tindakan tercela tersebut, dan yang ketiga; adalah eksploitasi tenaga kerja merupakan mempekerjakan anak dalam pekerjaan yang telah melebihi batas kemampuan seorang anak sehingga dapat membahayakan kesehatan fisik, psikis serta keselamatan dari anak.

Merujuk dari hasil pemantauan Komnas HAM pada 1 April 1997  yang menemukan terdapat empat pelanggaran hak asasi manusia terhadap pemain sirkus OCI, berupa  :

  1. Pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal usul identitas dam hubungan kekeluargaan baik dengan keluarga maupun dengan orangtua, karena saat korban diambil oleh pihak OCI masih berada dalam usia dibawah umur;
  2. Pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis;
  3. Pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak yang dapat menjamin masa depannya;
  4. Pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.[2]  

Berdasarkan pada Pasal 64 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.” Anak yang seharusnya mendapatkan hak untuk mengetahui identitas diri, asal usul keluarga serta mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak, tetapi mereka tidak mendapatkan hak itu semua. OCI justru memberikan kekerasan fisik seperti dipukul dan disetrum, lalu kekerasan psikis, dipaksa untuk tampil saat mereka sedang sakit, kemudian dipisahkan dari anak kandung dan keluarga, hingga mereka dipaksa untuk memakan kotoran hewan. Sebagai sesama manusia, tindakan yang dilakukan oleh OCI telah melanggar “hukum memanusiakan manusia” yang dimana hukum merupakan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang, bukan untuk menghilangkan atau merendahkan manusia sehingga manusia kehilangan martabatnya.

Eksploitasi dapat terjadi dengan atau tanpa persetujuan korban dan seringkali terjadi tidak mengakui adanya hak-hak individu. Para korban mengaku bahwa mereka bekerja di OCI sejak usia dibawah umur dan mereka tidak mengetahui bagaimana asal usul mereka diambil dan dibawa oleh OCI sehingga mereka menanggung dampak seperti kehilangan identitas, kehilangan pendidikan, kemiskinan, hilangnya martabat dan trauma yang berkepanjangan. Dampak-dampak tersebut tidak serta merta dapat hilang dengan begitu saja, para pihak yang menjadi pelaku tidak memberikan ganti rugi atau kompensasi untuk bertanggungjawab atas perilaku yang telah merugikan anak-anak yang dari kecil sudah menjadi korban.

Berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskrimanasi”. Maka bentuk tanggung jawab  dalam penanganan OCI  yaitu melalui Komnas HAM dan Komnas Perempuan bekerjasama dengan KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan Kemnaker (Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia) serta badan pemerintah lainnya dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) mengadakan rapat bersama dan membentuk tim investigasi untuk merumuskan solusi dan menyusun strategi secara komprenehensif, serta mengundang pemilik OCI untuk menuntut kompensasi ganti rugi untuk para korban baik secara fisik, psikis, ekonomi dan sosial.

Wujud dari perlindungan hukum untuk korban dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu dengan mendapatkan perlindungan fisik dan mental, mendapatkan kompensasi, restitusi (pengembalian barang yang dirampas) dan rehabilitasi untuk dapat memulihkan kondisi baik secara fisik, psisikis dan sosial. Lalu mendapatkan perlindungan saksi, Pengadilan HAM serta peran bantuan perlindungan dari Komnas HAM dan pemerintah, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31  Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Oleh sebab itu, para korban berhak menutut ganti rugi sesuai dengan Pasal 1365 KUHPer yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dengan ini para korban meminta beberapa tuntutan kompensasi ganti rugi baik secara formal dan  material kepada pihak OCI dengan  sebagai berikut :

  1. Tuntutan pertama, dapat memberi tahu kepada 60 korban mengenai asal usul identitas, hubungan kekeluargaan, dan orang tuanya karena mereka telah diambil dan dipekerjakan sejak kecil dan menjalani hidup dengan terisolasi dari dunia luar;
  2. Tuntutan yang kedua, pembentukan tim investigasi atau tim pencari fakta yang independen untuk mencari ‘bunker’ di lokasi Taman Safari yang diklaim sebagai tempat tinggal dan penyiksaan bagi para pemain sirkus di masa lalu;
  3. Tuntutan yang ketiga, pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mengadili kasus penyiksaan yang telah terjadi sejak tahun 1997;
  4. Tuntutan keempat, para korban meminta ganti rugi atas ekploitasi kekerasan yang mereka dapatkan sejak kecil tanpa pernah mendapatkan upah yang layak.

Dengan demikian dapat disimpulkan, sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan bahwa tindakan yang meliputi eksploitasi anak  dengan tujuan ekonomi dengan mempekerjakan anak dibawah umur tanpa menerima kehidupan dan pendidikan yang layak dan menggelapkan identits sebenarnya serta memberikan kekerasan fisik dan psikis kepada anak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar dan mengganggu Hak Anak atas perlindungan, martabat, pendidikan serta keamanan, dan bertentangan dengan Instrumen HAM Nasional dan Internasional.

Daftar Pustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia

[2] KOMPASTV, “Terungkap! Komnas HAM Bongkar Dugaan Eksploitasi Pemain Sirkus di Taman Safari Tahun 1997,”Vila Randita,video,27:32, https://youtu.be/PHbzN2nnOUg?si=JLYAdIG9cXCzZ2bh.

Penulis : Irene Patricia, S.H.

Leave a comment