ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGESAMPINGAN PASAL 1266 DAN 1267 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DALAM SUATU PERJANJIAN

Picture1

Dalam suatu perjanjian terdapat prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak terhadap satu sama lain. Hak atas pemenuhan prestasi para pihak dilindungi oleh undang-undang melalui pemberian sanksi kepada pihak yang melalaikan kewajibannya, yaitu pembayaran ganti rugi yang diderita oleh kreditur, Dalam hukum perdata di Indonesia, asas kebebasan berkontrak merupakan prinsip fundamental yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian (kontrak) selama tidak melanggar undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Namun, dalam praktiknya, sering kali ditemukan klausul dalam perjanjian yakni mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. 

Mengacu pada Pasal 1266 KUHPerdata mengatur bahwa“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan. Singkatnya  pembatalan suatu perjanjian karena wanprestasi harus dilakukan melalui putusan pengadilan, kecuali jika para pihak telah menyepakati klausul sebaliknya dalam perjanjian. Sedangkan Pasal 1267 KUHPerdata berbunyi “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.” singkatnya hak bagi pihak yang dirugikan untuk memilih salah satu dari tiga akibat hukum akibat wanprestasi, yaitu pemenuhan perjanjian, pemenuhan disertai ganti rugi, atau pembatalan perjanjian dengan ganti rugi. Alasan dikesampingkannya pasal-pasal tersebut di atas adalah agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka:

  1. Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri (Pasal 1266);
  2. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1267).

Pengesampingan terhadap Pasal 1266 KUHPerdata diperbolehkan berdasarkan bagian akhir pasal tersebut yang menyatakan bahwa para pihak dapat menyepakati bahwa pembatalan terjadi tanpa melalui pengadilan. Dengan demikian, suatu perjanjian dapat mencantumkan klausul bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, pembatalan dapat dilakukan secara otomatis (ipso facto) tanpa perlu adanya putusan pengadilan. Demikian pula, Pasal 1267 KUHPerdata dapat disesuaikan melalui perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dan tidak melanggar ketertiban umum maupun kepatutan. Misalnya, perjanjian dapat mengatur bahwa pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut ganti rugi tanpa hak untuk meminta pemenuhan perjanjian.

Konsekuensi Hukum Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 yakni:

  1. Memberikan Efisiensi dan Kepastian Hukum Pengesampingan Pasal 1266 mempercepat proses pembatalan perjanjian, mengurangi beban administrasi, dan menghindari proses pengadilan yang panjang. Klausul ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak karena mekanisme pembatalan sudah disepakati sebelumnya.
  2. Potensi Penyalahgunaan

Pihak yang lebih kuat dalam perjanjian dapat memanfaatkan pengesampingan ini untuk mengakhiri perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang jelas.Tanpa pengawasan pengadilan, ada risiko ketidakadilan bagi pihak yang lebih lemah.

  • Dampak terhadap Perlindungan Hukum

Dalam perjanjian dengan konsumen atau pekerja, klausul semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kebebasan berkontrak dan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan asas keadilan dan perlindungan konsumen. Jika pengesampingan ini bertentangan dengan asas itikad baik, pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Menurut J. Satrio bahwa para pihak bisa memperjanjikan bahwa perjanjian akan dengan sendirinya menjadi batal tanpa diperlukan adanya putusan hakim lagi ketika terjadi ketika salah satu pihak wanprestasi. Sehingga hakim tidak berhak memberikan suatu termijn lagi manakala para pembuatnya dengan tegas telah menetapkan perjanjian akan batal dengan wanprestasinya salah satu pihak. (Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya 1993). J. Satrio mengemukakan ketentuan batalnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1266 KUH Perdata digantungkan pada syarat bahwa pihak lawan janjinya melakukan wanprestasi. Jika tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur disebabkan oleh keadaan di luar kekuasaannya (overmacht atau force majeure), maka ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata tidaklah berlaku. Sehingga dalam hal kreditur menuntut pembatalan perjanjian di depan hakim, debitur dapat menangkis gugatan kreditur tersebut dengan pembelaan bahwa tidak terlaksananya prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan bukan disebabkan oleh kelalaiannya melainkan keadaan memaksa yang dialaminya.

Contoh Implementasi Klausul Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dalam Pengakhiran Perjanjian karena Wanprestasi Berdasarkan Putusan-Putusan Pengadilan yakni berdasarkan Putusan No. 105/PDT/2016/PT MKS  Dimana posisi kasusnya adalah PT Kalla Inti Karsa (Terbanding/Tergugat) memberikan pekerjaan renovasi gedung Mall Ratu Indah Makassar kepada PT Setia Darma Wijaya Raya (Pembanding/Penggugat) berdasarkan Perjanjian Renovasi Gedung Nomor: 22/LegalKIK/SPK/V/2012 tertanggal 23 Mei 2012 (“Surat Perjanjian Renovasi”). PT Setia Darma Wijaya Raya hanya menyelesaikan pekerjaannya sebesar 80% hingga perjanjian berakhir pada 30 September 2013. Akibatnya, PT Kalla Inti Karsa melakukan pemutusan perjanjian dengan mengeluarkan Surat Pemutusan Kontrak Kerja Sama Nomor 066/Project-Dev/Let/IX/2013 tertanggal 30 September 2013. Hak PT Kalla Inti Karsa untuk memutus perjanjian secara sepihak telah diatur dalam Pasal 8 Surat Perjanjian Renovasi yang menyatakan bahwa perjanjian bisa berakhir tanpa menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata karena wanprestasinya PT Setia Darma Wijaya. 

Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh PT Kalla Inti Karsa dinyatakan oleh hakim sebagai tindakan hukum yang sah karena: 

1. PT Setia Darma Wijaya Raya terbukti wanprestasi, yaitu melakukan pekerjaan tetapi tidak sesuai dengan perjanjian. 

2. Pemutusan perjanjian secara sepihak tanpa menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata diatur dalam Pasal 8 Surat Perjanjian Renovasi. 

3. Surat Perjanjian Renovasi adalah perjanjian yang sah sehingga berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata perjanjian tersebut mengikat para pihak yang membuatnya seperti undang-undang Majelis Hakim Pengadilan Tinggi membatalkan Putusan No. 135/Pdt.G/2014/PN. Mks dan memutus sendiri dengan amar putusan: 

  1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya. 
  2. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk sebagian. 
  3. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk membayar denda kumulatif sebesar 5% (lima persen) sebesar Rp377.500.000,- (tiga ratus tujuh puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) secara tunai dan sekaligus. 

Dalam perkara ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar menerima implementasi klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sebagaimana para pihak sepakat untuk tidak memberlakukan Pasal 1266 KUH Pedata yang mengatur tata cara berakhirnya perjanjian melalui pengadilan, maka pengakhiran perjanjian secara sepihak karena terjadi wanprestasi dipandang sebagai tindakan yang sah. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar menilai kesepakatan para pihak untuk mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata memiliki daya mengikat lebih kuat dari kaidah hukum yang terdapat di dalam Pasal 1266 KUH Perdata.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan  pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata dalam suatu perjanjian adalah sah secara hukum sejauh memenuhi prinsip kebebasan berkontrak dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum maupun kepatutan. Klausul semacam ini memberikan fleksibilitas dan efisiensi dalam pelaksanaan perjanjian, namun juga memiliki potensi penyalahgunaan. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu perjanjian, para pihak harus memastikan keseimbangan hak dan kewajiban agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak

Daftar Pustaka :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Satrio, J. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Cet 1. Bandung: Penerbit Alumni, 1993.

Wanprestasi menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014.

Website: https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-asas-hukum-perdata-lt62826cf84ccbf/

Penulis : Kristofer Arnold Florendito Nara, S.H.

Leave a comment