KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP KEJAHATAN SIBER (CYBERCRIME)

Screenshot_20250213-121956_Docs

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu melalui jalur “penal” (hukum pidana) dan melalui jalur “nonpenal”. Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian), sebelum kejahatan terjadi. Namun pada hakikatnya tindakan represif tersebut juga dapat dipandang sebagai tindakan preventif dalam arti luas.[1]

Penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan masalah kebijakan kriminalisasi dengan menggunakan sarana penal (kebijakan penal). Kewenangan tersebut berada pada pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah (presiden) dan DPR. Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya dilakukan melalui langkah-langkah diantaranya perumusan norma-norma hukum pidana, yang di dalamnya terkandung adanya unsur substantif, struktural dan kultural masyarakat di mana sistem hukum pidana itu diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya bekerja lewat suatu sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Kebijakan melalui saran nonpenal dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan seperti: penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; serta kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara berkelanjutan oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Kebijakan nonpenal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial, di mana tujuan utamanya memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.

Politik hukum pidana dapat didefinisikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi atau deskriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi di antara berbagal alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana di masa mendatang. Dengan demikian, negara diberikan kewenangan untuk merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya.

Para pembentuk hukum menetapkan politik hukum pidana dilakukan untuk menentukan beberapa hal, sebagai berikut:[2]

  1. Sejauh mana ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;
  2. Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
  3. Bagaimana proses penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana yang harus dilakukan.

Menurut Barda Nawawi Arief, terdapat beberapa keter-batasan kemampuan hukum pidana sebagai sarana kebijakan kriminal, yaitu:[3]

  1. Penyebab terjadinya kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;
  2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;
  3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom” hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif;
  4. Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
  5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/ personal, tidak bersifat struktural/fungsional;
  6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
  7. Berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi.

Penangulangan kejahatan lewat jalur “nonpenal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menyuburkan kejahatan. Jika dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya “nonpenal” menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal.[4] Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat menjadi faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, merupakan masalah yang tidak dapat diatasi dengan hanya mengandalkan sarana “penal”, sehingga harus didukung dengan menggunakan sarana nonpenal. Salah satu bentuk upaya “nonpenal” dalam mengatasi masalah-masalah sosial tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan sosial (social policy). 

Kebijakan sosial untuk mencapai tujuan tertinggi suatu dapat ditempuh melalui jalur kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dalam mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur. Selain itu pula dapat dilakukan melalui kebijakan perlindungan sosial (social defence policy) untuk melindungi masyarakat dari segala gangguan yang membahayakan atau merugikan, dengan menerapkan hukum (penal) yang didukung oleh sarana nonpenal berupa meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta, Kencana Prenadamedia Group. 1991. Upaya Nonpenal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Semarang, Alumni.

Bakhri, Syaiful. 2010. Kebijakan Kriminal dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta, Total Media.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Alumni.


[1] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 118

[2] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hal. 15.

[3] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2007), hal. 46.

[4] Barda Nawawi Arief, Upaya Nonpenal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Semarang:Alumni, 1991), hal. 3.

PENULIS : WINDISEN, S.H., M.H.

Leave a comment